Jumat, 29 November 2013

Jika Sudah Tidak Ada Lagi Topeng Monyet


Aksi seekor kera saat dibawa mengamen di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, . Kemacetan yang hampir selalu terjadi di Jalan dr Satrio, tepatnya di depan mal Ambasador dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mengamen dengan monyetnya.

Suara gendang sudah tidak bertalu, suara kenong (alat musik dari tembaga) sudah tidak berbunyi kembali. Semua telah tergantikan dengan merdu suara biduanita yang keluar dari sound system butut.

Entah siapa yang menyanyi, lagu dangdut tersebut telah bercampur dengan nada-nada disko remix. Terajana judulnya, dengan leluasa menyambar telinga setiap pengendara yang melewati Jalan dr Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan.

Topeng monyet tengah berevolusi. Dari berkeliling kampung ke kampung menyusuri gang-gang sempit, kini ngetem saja di tempat-tempat strategis. Dari iringan kendang dan kenong atau tete, kini diganti musik dangdut dari kaset butut.

Coba lihat di jalur hijau depan Mal Ambasador. Jejeran topeng monyet saling beradu gengsi memperebutkan iba pengendara yang lewat. Tak peduli pada cuaca terik atau mendung, bahkan gerimis.

Jumuat kemarin misalnya. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Matahari masih terik. Panas menyengat tak membuat Nurhayati (8) atau sering disapa Nur, berhenti mengayunkan toples plastiknya ke arah pengendara yang lewat. Dengan ditemani kakaknya, Supriyadi (16), Nur mencari sesuap nasi demi kelangsungan hidup.

Mengamen dengan topeng monyet menjadi pilihan kakak beradik ini setelah bangku sekolah ia tinggalkan sejak setahun lalu. "Kalau tidak bergerak, mana bisa makan Bang" kata Nur.

Maka, buku sekolah dan ballpoin berganti dengan toples plastik warna coklat. Bersama monyetnya yang diberi nama Jepri, Nur dan kakaknya berbagi tugas saat mengamen. Nur bertugas menghampiri setiap pintu mobil yang berjalan merayap di tengah kemacetan. Sedangkan sang kakak menjaga sound sistem agar tetap berbunyi merdu sambil memegang tali pengikat sang monyet.

Tidak terlihat wajah malu apalagi letih dalam diri Nur dan kakaknya. Dengan sigap ia memunguti uang kertas yang dilempar dari kaca yang hanya terbuka beberapa senti. Kadang ia harus mencari kepingan logam yang jatuh di hijaunya rumput taman.

Hampir 10 jam sehari ia habiskan untuk mengamen dengan kakaknya. Mereka biasa mangkal mulai pukul 08.00. Hasilnya, lumayan untuk ukuran keduanya, Rp 60.000 sampai Rp 90.000. Bahkan kalaupun beruntung mereka bisa mendapatkan Rp 100.000. "Tapi itu jarang banget Bang," kata Nur.

Hasil jerih payah mengamen itu ternyata tidak utuh mereka terima. Sebab, monyet yang jadi teman ngamen itu ternyata mereka sewa dengan sistem komisi dari pemiliknya. Sehari mereka harus menyisihkan Rp 30.000-Rp 35.000 untuk sewa monyet. Tergantung berapa rupiah yang mereka peroleh hari ini.

Penghasilan itu juga masih harus dikurangi ongkos naik bajaj dari rumah kontrakannya di Pasar Prumpung, Jakarta Timur, ke Kuningan PP, antara Rp 10.000-Rp 15.00 sekali jalan. "Tergantung bang kalau macet bayar Rp 15 ribu kalau lancar cuman Rp 10 ribu" kata sang kakak.

Untuk menghemat, mereka biasa naik bajaj berombongan bersama sesama pengamen lain, dengan monyetnya juga tentunya. Sedangkan makan siang, mereka harus berbagi dengan sang monyet yang ternyata gemar makan tempe goreng.

Lalu berapa sisa penghasilannya? Tidak banyak ternyata. "Lumayan untuk keperluan keluarga" kata Nur tanpa bisa menjelaskan keperluan yang seperti apa.

Nur dan Supriyadi tidak sendiri mengamen dengan monyetnya di jalur hijau dr Satrio. Ada lima sampai tujuh pengamen serupa. Dengan berbagai latar belakang nasib, mereka tampil kompak dengan berbagi lahan mengamen hingga waktu sudah menunjukkan pukul 18.00.

"Saya pengin berdagang Bang" kata Nur menutup perbincangan petang kemarin sembari mengemas aneka permainan jepri. Sebuah harapan yang mungkin masih jauh dari gapaiannya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar